filsafat pendidikan


A.      Hubungan antara filsafat dengan pendidikan berdasarkan aliran ontologi, epistimologi, dan aksiologi
Sebagaimana kita ketahui bahwa pengetahuan adalah apa yang kita ketahui yang berupa kesimpulan dan merupakan hasil dari pengamatan terhadap suatu gejala yang parsial. Dalam pengetahuan didalamnya terkandung ilmu, yang mana pada setiap jenis ilmu memiliki karakteristik spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistimologi), dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Adapun aliran filsafat ontologi, epistimologi, dan aksiologi memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan pendidikan. Hal ini dapat terlihat dalam pembahasan berikut.
Dalam filsafat ilmu, ontologi adalah studi / pengkajian mengenai sifat dasar ilmu, dimana sifat dasar tersebut menentukan arti, struktur, dan prinsip ilmu. Dalam ontologi merumuskan apa yang menjadi bahasan yang kemudian ditetapkan sebagai hipotesis. Selanjutnya hipotesis tersebut akan dibahas dalam aliran epistimologi. Dengan adanya aliran epistimologi dituntut untuk mencari pemecahan apa yang telah menjadi objek kajian penelitian. Dengan kata lain, bagaimana cara mendapatkan pengetahuan yang benar dan dapat dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah. Kemudian hipotesis yang telah ditetapkan diuji dan dikaji kebenarannya. Apabila mendapatkan kebenaran berupa ilmu yang bermanfaat, maka selanjutnya akan dibahas dalam aliran aksiologi. Dalam aliran ini, mengkaji hasil ilmu yang telah didapatkan untuk menentukan apa fungsi dari ilmu yang telah dikaji sebelumnya dan untuk apa pengetahuan tersebut disusun.
 
 Seperti yang dikemukakan oleh Jujun S. Sumantri dalam filsafat Ilmu Suatu Pengantar bahwa “aksiologi merupakan teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh”. Di sisi lain, berdasarkan  Kamus Bahasa Indonesia (1995:19) aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai - nilai khususnya etika. Sedangkan Wibisono mengemukakan bahwa aksiologi adalah nilai -nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika, dan moral sebagai dasar normatif penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu. Jadi, aksiologi adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and aim).
Dengan demikian, antara filsafat dengan pendidikan memiliki keterkaitan yang sangat erat. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kenyataan bahwa persoalan – persoalan utama dalam filsafat merupakan landasan utama dalam pendidikan. Seperti siapa manusia, mau kemana manusia, untuk apa manusia hidup yang akan dijadikan landasan untuk menentukan kebijakan – kebijakan dalam pendidikan. Selain  itu, dalam pendidikan, filsafat juga dapat memberikan arah, tujuan, menjadi dasar atau landasan dalam merancang program pendidikan, dan menjadi acuan dalam mengevaluasi pendidikan.

B.  Perbedaan dan implikasi aliran materialisme (behaviorisme) dan spiritualisme (humanisme) dengan kegiatan belajar mengajar
1.    Aliran Materialisme
Pada hakekatnya, aliran materialisme diperhatikan orang dewasa sebagai landasan berpikir adalah “Positivisme” yang memandang kalau sesuatu itu memang ada, maka adanya itu adalah dapat diamati dan diukur. Sebaliknya, segala yang tidak dapat diamati dan diukur secara ilmiah berarti tidak dapat dipelajari secara positif.
Paham behaviorisme ini memandang perubahan perilaku setelah seseorang memperoleh stimulus dari luar merupakan hal yang sangat penting. Oleh sebab itu, pendidikan behaviorisme menekankan pada proses mengubah atau memodifikasi perilaku. Tujuannya untuk menyiapkan pribadi-pribadi yang sesuai dengan kemampuannya, mempunyai rasa tanggung jawab dalam kehidupan pribadi dan masyarakat.
Dalam implikasinya bahwa proses pendidikan (proses belajar) menekankan pentingnya keterampilan dan pengetahuan akademis yang empiris sebagai hasil kajian sains, serta perilaku sosial sebagai hasil belajar. Sebagai aliran yang dilandasi positivisme dan materialisme, behaviourisme mengabaikan faktor intrapsikhis. Hal ini berarti dalam proses belajar tidak berorientasi pada apa yang terdapat dalam diri siswa (misalnya harapan siswa, potensialitas siswa, kemampuan siswa, dan sebagainya). Tujuan pendidikan bersifat eksternal, dalam arti ditentukan dan dirumuskan oleh lingkungan, tanpa memperhitungkan faktor internal siswa yang belajar.
Di sisi lain, Hederson mengemukakan kritiknya pada materialisme bahwa secara filosofi maupun psikologis, materialisme tidak memadai, karena tidak mungkin menerangkan bagaimana materi dalam gerak dapat berubah menjadi kesusilaan, nilai – nilai spiritual, aktivitas kreatif, keberatan lain yaitu karena behaviourisme menerangkan segala sesuatu secara mekanistik. Manusia merupakan mesin reaksi sehingga pendidikan hanyalah soal mempengaruhi reflex dan perbuatan saja, yaitu perilaku yang hanya dapat diamati dan dapat diukur. Behaviourisme sama sekali tidak memberikan perhatian terhadap penghayatan seseorang tentang nilai – nilai, melainkan bagaimana perbuatan dan keterampilan dalam menampilkan nilai tersebut. Perbuatan dalam melaksanakan nilai bisa berpura – pura. Jadi, dalam hal ini behaviourisme sama sekali tidak berhubungan dengan keyakinan atau keimanan seseorang, seperti halnya meningkatkan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

2.    Aliran Spiritualisme
Aliran spiritualisme (humanisme) berpandangan bahwa pendidikan harus ditekankan pada kebutuhan anak (child centered). Tujuannya untuk aktualisasi diri, perkembangan efektif, dan pembentukan moral. Adapun implikasi dari aliran spiritualisme dalam kegiatan belajar mengajar yaitu :


a.        Open Education atau Pendidikan Terbuka
Pendidikan Terbuka adalah proses pendidikan yang memberikan kesempatan kepada murid untuk bergerak secara bebas di sekitar kelas dan memilih aktivitas belajar mereka sendiri. Guru hanya berperan sebagai pembimbing. Adapun ciri utama dari proses ini adalah murid bekerja secara individual atau dalam kelompok-kelompok kecil. Dalam proses ini mensyaratkan adanya pusat-pusat belajar atau pusat-pusat kegiatan di dalam kelas yang memungkinkan murid mengeksplorasi bidang-bidang pelajaran, topik-topik, ketrampilan – ketrampilan atau minat-minat tertentu. Pusat ini dapat memberikan petunjuk untuk mempelajari suatu topik tanpa hadirnya guru dan dapat mencatat partisipasi dan kemajuan murid untuk nantinya dibicarakan dengan guru (Rumini, 1993). Adapun kriteria yang disyaratkan dengan model ini adalah sebagai berikut :
1.         Tersedia fasilitas yang memudahkan proses belajar,
2.         Adanya suasana penuh kasih sayang, hangat, hormat dan terbuka.
3.         Adanya kesempatan bagi guru dan murid untuk bersama - sama mendiagnosis peristiwa-peristiwa belajar,
4.         Pengajaran yang bersifat
5.         Adanya kesempatan untuk pertumbuhan professional bagi guru, dalam arti guru boleh menggunakan bantuan orang lain termasuk rekan sekerjanya.
6.         Suasana kelas yang hangat dan ramah sehingga mendukung proses belajar yang membuat murid nyaman dalam melakukan sesuatu.

b.        Cooperative Learning atau Belajar Kooperatif
Belajar kooperatif merupakan fondasi yang baik untuk meningkatkan dorongan berprestasi murid. Dalam prakteknya, belajar kooperatif memiliki tiga karakteristik :
1.    Murid bekerja dalam tim-tim belajar yang kecil (4 – 6 orang anggota), dan komposisi ini tetap selama beberapa minggu.
2.    Murid didorong untuk saling membantu dalam mempelajari bahan yang bersifat akademik dan melakukannya secara berkelompok.
3.    Murid diberi imbalan atau hadiah atas dasar prestasi kelompok.
        Adapun teknik-teknik dalam belajar koperatif ini ada 4 (empat) macam, yakni :
ü  team- games- tournament
Dalam teknik ini murid-murid yang kemampuan dan jenis kelaminnya berbeda disatukan dalam tim yang terdiri dari empat sampai lima orang anggota. Setelah guru menyajikan bahan pelajaran, lalu tim mengerjakan lembaran-lembaran kerja, saling mengajukan pertanyaan, dan belajar bersama untuk persiapan menghadapi perlombaan atau turnamen yang diadakan sekali seminggu.
ü   student teams
Teknik ini menggunakan tim yang terdiri dari empat sampai lima orang anggota, akan tetapi kegiatan turnamen diganti dengan saling bertanya selama lima belas menit, dimana pertanyaan-pertanyaan yang diajukan terlebih dulu disusun oleh tim. Skor - skor pertanyaan diubah menjadi skor-skor tim, skor-skor yang tertinggi memperoleh poin lebih dari pada skor-skor yang lebih rendah, disamping itu juga ada skor perbaikan.
ü  Jigsaw
Murid dimasukkan ke dalam tim-tim kecil yang bersifat heterogen, kemudian tim diberi bahan pelajaran. Murid mempelajari bagian masing-masing bersama-sama dengan anggota tim lain yang mendapat bahan serupa. Setelah itu mereka kembali ke kelompoknya masing-masing untuk mengajarkan bagian yang tela dipelajarinya bersama dengan anggota tim lain tersebut, kepada teman-teman dalam timnya sendiri. Akhirnya semua anggota tim dites mengenai seluruh bahan pelajaran. Adapun skor yang diperoleh murid dapat ditentukan melalui dua cara, yakni skor untuk masing-masing murid dan skor yang digunakan untuk membuat skor tim.
ü  Group Investigation
Dalam teknik ini, para murid bekerja di dalam kelompok-kelompok kecil untuk menanggapi berbagai macam proyek kelas. Setiap kelompok membagi tugas tersebut menjadi sub-sub topik yang dibebankan kepada setiap anggota kelompok untuk menelitinya dalam rangka mencapai tujuan kelompok. Setelah itu, setiap kelompok mengajukan hasil penelitiannya kepada kelas. Berdasarkan penelitian, teknik-teknik belajar kooperatif pada umumnya berefek positif terhadap prestasi akademik. Selain itu teknik ini juga meningkatkan perilaku kooperatif dan altruistic murid. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teknik ini merupakan teknik mengajar yang efektif untuk mencapai tujuan instruksional kelas.

c.         Independent Learning (Pembelajaran Mandiri)
Sebagaimana kita ketahui bahwa pembelajaran mandiri adalah proses pembelajaran yang menuntut murid menjadi subjek yang harus merancang, mengatur dan mengontrol kegiatan mereka sendiri secara bertanggung jawab. Proses ini tidak bergantung pada subjek maupun metode instruksional, melainkan kepada siapa yang belajar (murid), mencakup siapa yang memutuskan tentang apa yang akan dipelajari, siapa yang harus mempelajari sesuatu hal, metode dan sumber apa saja yang akan digunakan, dan bagaimana cara mengukur keberhasilan upaya belajar yang telah dilaksanakan (Lowry, dalamHarsono, 2007). Dalam pelaksanaannya, proses ini cocok untuk pembelajaran di tingkat atau level perguruan tinggi, karena menuntut kemandirian yang tinggi dari peserta didik. Di sini pendidik beralih fungsi menjadi fasilitator proses belajar, bukan sebagai penentu proses belajar. Meski demikian, pendidik harus siap untuk menjadi tempat bertanya dan bahkan diharapkan pendidik betul-betul ahli di bidang yang dipelajari peserta.Agar tidak terjadi kesenjangan hubungan antara peserta dan pendidik, perlu dilakukan negosiasi dalam perancangan pembelajaran secara keseluruhan (Harsono, 2007).

d.         Student Centered Learning (Belajar yang Terpusat pada Siswa)
Student Centered Learning atau disingkat SCL merupakan strategi pembelajaran yang menempatkan peserta didik secara aktif dan mandiri, serta bertanggung jawab atas pembelajaran yang dilakukan. Dengan SCL peserta diharapkan mampu mengembangkan ketrampilan berpikir secara kritis, mengembangkan system dukungan sosial untuk pembelajaran mereka, mampu memilih gaya belajar yang paling efektif  dan memiliki jiwa entrepreneur. Sama seperti model sebelumnya, SCL banyak diterapkan dalam system pendidikan di tingkat Perguruan Tinggi (Harsono, 2007). Dengan SCL mahasiswa memiliki keleluasaan untuk mengembangkan segenap potensinya (cipta, karsa dan rasa), mengeksplorasi bidang yang diminatinya, membangun pengetahuan dan mencapai kompetensinya secara aktif, mandiri dan bertanggung jawab melalui proses pembelajaran yang bersifat kolaboratif, kooperatif dan kontekstual.

C.   Tujuan filsafat pendidikan dalam kurikulum pendidikan di Indonesia
Pada hakekatnya, filsafat berasal dari kata bahasa Yunani kuno, yaitu Philos yang memiliki arti cinta yang sangat mendalam dan Sophia yang berarti kearifan atau kebijakan. Menurut Al Farabi, filsafat merupakan kumpulan ilmu yang menyelidiki hakikat yang sebenarnya dari segala yang ada. Sedangkan menurut Francis Bacon, filsafat merupakan induknya dari ilmu - ilmu, dan filsafat mempunyai semua pengetahuan sebagai bidangnya. J.A. Leighton dalam The Field Of Philoshopy dalam The Liang Gie “Filsafat adalah pencarian suatu totalitas dan keserasian dari pengertian yang beralasan mengenai sifat dasar dan makna dari semua segi pokok kenyataan. Suatu filsafat yang lengkap mencakup suatu pandangan dunia atau konsepsi yang beralasan mengenai seluruh kosmos dan suatu pandangan hidup atau ajaran tentang nilai - nilai, makna - makna, dan tujuan - tujuan dari hidup manusia.”
Dengan demikian, filsafat adalah berpikir secara menyeluruh, mendasar namun spekulatif. Filsafat juga merupakan suatu pandangan kritis yang sangat mendalam sampai ke akar – akarnya (radix) mengenai sesuatu hal yang ada (wujud). Dalam hal pendidikan, pada hakekatnya, filsafat dengan pendidikan itu memiliki hubungan yang sangat erat. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kenyataan bahwa persoalan – persoalan utama dalam filsafat merupakan landasan utama dalam pendidikan. Seperti siapa manusia, mau kemana manusia, untuk apa manusia hidup yang akan dijadikan landasan untuk menentukan kebijakan – kebijakan dalam pendidikan. Selain  itu, filsafat pendidikan juga bertujuan memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran yang ideal.
Pada hakekatnya, teori pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran tentang kebijakan dan prinsip-prinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat pendidikan. Praktik pendidikan atau proses pendidikan menerapkan serangkaian kegiatan yang berupa implementasi kurikulum dan interaksi antara guru dengan peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori-teori pendidikan. Peranan filsafat pendidikan memberikan inspirasi, yakni menyatakan tujuan pendidikan negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas dan tepat dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan dan praktik di lapangan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori pendidik. Seorang guru perlu menguasai konsep-konsep yang akan dikaji serta pedagogi atau ilmu dan seni mengajar materi subyek terkait, agar tidak terjadi salah konsep atau miskonsepsi pada diri peserta didik. dalam pendidikan,
Dengan demikian, filsafat memiliki peranan dalam pengembangan kurikulum. Di mana filsafat pendidikan memberikan inspirasi, yakni menyatakan tujuan pendidikan negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas dan tepat dengan mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan dan praktik di lapangan dengan menggunakan rambu - rambu dari teori
pendidikan. Sehingga dalam pengembangan kurikulum harus disesuaikan dengan apa yang telah ada agar menghasilkan kurikulum yang sesuai dan dapat berkembang menjadi lebih baik. Akan tetapi, filsafat bersifat spekulatif  (sesuai yang ada) sehingga kebenarannya bersifat spekulatif pula. Di mana dalam penyusunan kurikulum harus mengacu pada landasan yang kokoh dan kuat.
 Landasan pengembangan kurikulum tidak hanya diperlukan bagi para penyusun kurikulum (makro) atau kurikulum tertulis yang sering disebut juga sebagai kurikulum ideal, akan tetapi juga harus dipahami dan dijadikan dasar pertimbangan oleh para pelaksana kurikulum (mikro) yaitu para pengawas pendidikan dan para guru serta pihak-pihak lainnya yang terkait dengan tugas-tugas pengelolaan pendidikan. Dengan posisinya yang penting tersebut, maka penyusunan dan pengembangan kurikulum tidak bisa dilakukan secara sembarangan, akan tetapi harus didasarkan pada berbagai pertimbangan, atau landasan agar dapat dijadikan dasar pijakan dalam menyelenggarakan proses pendidikan, sehingga dapat memfasilitasi tercapainya tujuan pendidikan dan pembelajaran secara lebih efisien dan efektif.
Keberadaan aliran-aliran filsafat lainnya dalam pengembangan kurikulum di Indonesia dapat digunakan sebagai acuan, akan tetapi hendaknya dipertimbangkan dan dikaji kesesuaiannya dengan nilai-nilai falsafah hidup bangsa Indonesia, karena apabila tidak semuanya konsep aliran filsafat dapat diadopsi dan diterapkan dalam sistem pendidikan kita. Kajian-kajian filosofis tentang kurikulum akan berupaya menjawab permasalahan-permasalahan sekitar: (1) bagaimana seharusnya tujuan pendididikan itu dirumuskan, (2) isi atau materi pendidikan yang bagaimana yang seharusnya disajikan kepada siswa, (3) metode pendidikan apa yang seharusnya digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan, dan (4) bagaimana peranan yang seharusnya dilakukan pendidik dan peserta didik. Jawaban atas permasalahan tersebut akan sangat bergantung pada landasan filsafat mana yang digunakan sebagai asumsi atau sebagai titik tolak pengembangan kurikulum. Landasan filsafat tertentu beserta
konsep-konsepnya yang meliputi konsep metafisika, epistemologi, logika dan
aksiologi berimplikasi terhadap konsep-konsep pendidikan yang meliputi rumusan tujuan pendidikan, isi pendidikan, metode pendidikan, peranan pendidik dan peserta didik.


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

0 komentar:

Posting Komentar

Sharing Education